By Heru Afandi

Wednesday, March 4, 2015

Pemuda Harapan Bangsa?



Sumber : www.google.com


Kadang bingung juga kenapa sangat antusias dengan hal yang berbau jiwa muda. Seperti bahasan sebelumnya aku masih agak sedikit bingung tentunya ketika kita dihadapkan pada sejarah kemajuan peradaban, budaya, serta kemampuan berpikir bangsa yang tentu saja di motori oleh para pemuda Indonesia, tetapi kontradiksi dengan itu semua belakangan di era digital, era modern atau apalah namanya ternyata kita kemudian dapati bahwa tidak sedikit juga anak muda yang pada akhirnya hanya menjadi “ampas demografi”. Dalam pemahaman dangkal ini kita secara teoritis boleh saja menganggap bahwa anak muda itu mewakili keterbukaan terhadap hal baru atau perubahan, atau juga memiliki semangat kepemimpinan karena harapan dan mimpinya yang luar biasa, tetapi sekali lagi dengan pesimis kita katakan bahwa tidak sedikit anak muda yang pada hari ini lebih memilih menjadi “ampas demografi”.

Baru beberapa jam yang lalu ketika menonton berita sebuah stasiun TV lokal, diberitakan bahwa Kepala Daerah Kalbar diminta untuk membuat Perda guna mengatasi darurat narkoba di Kalimantan Barat, yaa.. Kalimantan Barat sedang mengalami darurat Narkoba. Pertanyaan berikutnya yang mungkin bisa di ajukan adalah  “Bagaimana mungkin kalimantan barat bisa di nobatkan darurat narkoba?”, jawaban yang tepat sekali adalah “ tentu saja dengan tegas boleh kita katakan karena anak mudanya tidak cukup peduli a.k.a apatis terhadap sesamanya, saudaranya, bahkan terhadap masa depannya juga mimpi – mimpinya. Sekarang kita lihat hubungannya dengan “Pemuda Harapan Bangsa”, bagaimana mungkin bisa menjadi pemuda harapan bangsa kalau nyatanya pada dirinya sendiri saja tidak peduli, malangnya kasus napza ini melanda tidak sedikit anak muda Indonesia. Motif penggunaan narkoba ini juga beragam di kalangan anak muda ini, ada yang ingin tampil keren sampai yang ingin lari dari kenyataan dengan ketenangan palsu yang pada akhirnya hanya berujung pada kematian atau boleh juga kita sebut bunuh diri perlahan. Padahal hukum teorinya sudah demikian jelas “Jika ingin melihat masa depan sebuah negara, maka lihatlah anak mudanya.”, sekarang bagaimana mungkin Indonesia menyandarkan masa depannya  pada anak muda yang rusak parah seperti itu, yang ada malah Negara kita yang semangkin rusak.

Masih hangat dan teingat dengan jelas bahwa beberapa waktu yang lalu ketika pemberitaan banjir jakarta sedang menjadi trending topik berbagai media massa nasional, menarik bukan? Tetapi seolah tidak mau kalah menyaingi berita banjir kita kemudian di kejutkan dengan pemberitaan “ Anak SD umbar kemesraan”, yapp adegan berciuman yang mengabadikan anak SD  itu terlihat sangat natural dan dewasa banget bagaimana tidak mereka ciuman mulut ala orang barat! Sebagian dari kita mungkin berpikir “Gila masih SD udah lihai, atau mungkin lucu juga ya cinta monyet mereka?”, bagi sebagian besar kita mungkin menilai hal itu untuk lucu-lucuan saja, tetapi ayo lahh coba kita berpikir sejenak, bukan kah kita orang timur sudah paham bahwa budaya timur itu adalah budaya yang beradap dan bermoral, sekarang bagaimana apakah kita sendiri masih bisa berkata bahwa kami orang Indonesia bagian bumi sebelah timur adalah bangsa yang memiliki peradaban yang tinggi serta bermoral? Aku rasa tidak bisa lagi. Kasus di atas sudah menunjukan bahwa nilai nilai luhur bangsa timur sudah tercoreng oleh bangsanya sendiri, karena tidak kuat menahan nafsu, ehh salah, karena tidak kuat pemfilteran terhadap arus modernitas dan globalisasi sehingga budaya barat yang tidak pantas diadopsi turut masuk dengan ampas-ampasnya. Sekarang kita lihat siapa yang seharusnya bertanggung jawab?, media massa jelas memiliki andil yang besar bagi perusakan bibit bibit potensial Indonesia, secara umum media massa memiliki berbagai fungsi strategis misal fungsi informatif, Fungsi Inspiratif, fungsi Komunikatif dan fungsi Entertaiment atau fungsi hiburan. Sekarang, kalau media massa lebih menonjolkan sisi entertainmentnya melalui sinetron, berita gosip, FTV dan acara show yng jauh dari kata mendidik kita bisa apa selain mematikan tv?, Tentu saja media massa bukan satu – satunya yang dapat kita persalahkan akan masalah ini, media massa boleh saja melimpahkan kesalahan kepada orang tua masing masing, karena pada awalnya media telah lulus sensor juga sudah mencantumkan logo “B.O (Bimbingan Orang tua)”, lebih jauh lagi para orang tua cerdas yang tidak mau membiarkan anaknya rusak tentusaja sah jika melimpahkan kesalahan kepada pemerintah yang tidak tegas mengontol tanayangan yang tidak mendidik bagi anak – anak.

Seerupa dengan paragraf ke-2 di atas, masalah cinta-cintaan juga tidak hanya melanda anak – anak SD saja melainkan juga kakak dan abangnya yang berada di tingkat SMP, SMA dan Juga bangku kuliahan. Widihh, ternyata tantangannya besar juga ya ketika ingin menjadi anak muda yang sebenarnya, bagaimana tidak entah kapan dimulainya budaya cinta – cintaan ini yang jelas sampai pada hari ini kondisi ini semangkin parah bisa kita katakan sebagai masalah stadium 4. Sebagian besar orang kemudian berdalih bahwa mereka mencari pacar untuk sekedar memotivasi agar semagat sekolah, semangat kuliah, dsb tentu beberapa alasan berkaitan tentang motivasi itu sangat bisa diterima oleh akal sehat juga akal sakit sekali pun, tapi letak permasalahan yang sebenarnya adalah ketika  ternyata budaya cinta – cintaan ini kemudian berujung jadi budaya SEX. Berhubung saya juga adalah seorang anak muda berdasarkan cerita dari kawan – kawan yang berpengalaman dengan banyak wanita muda yang butuh perhatian dan kasih sayang, sudah dapat kita rangkum bahwa orientasi pacaran anak muda jaman sekarang ini tidak lagi mengarah ke tujuan semangat – semangatan tetapi sudah menjurang ke tujuan “Kepuasan Seksual”, sekali lagi orientasi pacaran anak muda jaman sekarang sudah berubah ke arah orientasi “Kepuasan Seksual”. Hal ini tentu sangat sejalan dengan budaya barat dan jelas jelas bertentangan dengan budaya timur yang kearifan lokalnya sangat kuat itu ternyata sudah terinfeksi oleh virus budaya barat yang tidak sehat, tetapi hal ini masih bisa kita sangkal bahwa ternyata banyak pemimpin di dunia ternyata seorang pecinta wanita (termasuk founding father Negara Kita tercinta). Sekarang kita sebagai kaum muda kembali di hadapkan dengan sebuah pertanyaan krusial, “Bagaimana mungkin bangsa Indonesia menyandarkan masa depannya kepada sebagian besar anak muda yang ke-barat baratan seperti diatas?”. Sekarang kembali saya ingatkan bahwa iming – iming “Bonus Demografi” mungkin saja berubah jadi momok “Bencana Demografi”. Sekali lagi saya ingatkan bahwa “Jika ingin melihat masa depan sebuah bangsa, maka lihatlah apa yang dilakukan anak mudanya!”.

Sekarang kita sedikit beralih kepada adek – adek kita yang berada di sekolahan, atau yang sekarang  (hari Rabu Pukul 08.38 WIB tanggal 4/3-2015) sudah berada di warung kopi, tempat bilyar, warnet, Mall, atau tempat wisata. Maksud saya para pelajar muda kita lebih merasa muda ketika bisa memilih untuk membolos pada jam sekolah demi hal yang mereka senangi ketimbang berada dalam lingkungan ilmiah yang ternyata mengekang kebebasan mereka dalam bermain dan beraktivitas. Tentu saja yang memiliki kesenangan membolos hanya segelintir orang saja dan tidak semua pelajar demikian, tetapi sebagaian yang lain ternyata juga menyumbang terhadap meningkatnya angka kenakalan remaja misal, tauran pelajar, geng motor dsb. Dan lebih parahnya lagi kalau ternyata kebiasaan kebiasaan saat mereka sekolah itu berlanjut sampai ke jenjang perguruan tinggi. Kita boleh saja tidak tergubris mengenai masalah ini karena menganggap hanya segelintir adek pelajar kita yang demikian dan bukan masalah besar kalau kita pikir. Tetapi kepikiran juga kan kalau berbagai masalah besar berawal dari masalah – masalah kecil seperti kenakalan pelajar tersebut.

Sekali lagi saya mengingatkan bahwa “Jika ingin melihat masa depan sebuah bangsa, maka lihatlah apa yang anak mudanya lakukan!”. Tetapi rasanya tidak adil juga kalau kita hanya memandang negatifnya saja, beruntungnya Indonesia ternyata banyak juga ditemukan anak muda yang menginspirasi saya cantumkan beberapa misalnya Gerakan Indonesia mengajar, Gerakan Taman baca Untuk Indonesia, Traveling and Teaching, Indonesia Berkibar, Indonesia Menyala, Berbagai Himpunan Mahasiswa Prodi maupun daerah, berbagai komunitas anak muda yang positif yang berkaitan dengan Passion, Hobi, dsb ( misal Fotografi, parkour, Skate, BMX, Musik, travel, seni, budaya, dsb) dan masih banyak yang lain yang tidak dapat saya tuliskan satu persatu. Tentu saja masih banyak hal positif yang dapat dilakukan anak muda indonesia yang kepada mereka lah harapan bangsa indonesia di tumpukan. Sedikit pesan tambahan Menurut saya, Anak muda itu harus antusias atau tertarik dengan isu – isu politis, bukan untuk ikut terhanyut di dalamnya melainkan agar tidak terbodohi!!

Sebenarnya saya masih ingin melanjutkan tulisan ini sebab memang masih banyak permasalahan yang ternyata tanpa atau pun sudah kita sadari menjadi masalah besar yang dapat saja mengancam kemajuan bangsa kita. Tetapi kalau berbicara masalah saja rasanya hanya membuat kita pesimis kalau bangsa kita bisa maju, maka dari itu saya sebagai anak muda mengajak sesama anak muda untuk dapat peduli dengan kondisi anak muda yang sekarang sedang di hadapi banyak sekali permasalahan. Minimal kita melakukan pendekatan persuasif untuk mengajak kawan dekat kita untuk melakukan hal yang positif, mungkin saja jik ada 40.000 anak muda dapat menyebarkan semangat positif maka kemajuan bangsa kita sudah di depan mata dan tinggal selangkah lagi. Sekali lagi saya ingatkan bahwa “ Jika ingin melihat masa depan sebuah bangsa maka lihat apa yang dilakukan anak mudanya!”.

Sumber : www.google.com


NEGARA KITA TERCINTA PUNYA 4 CITA – CITA BESAR YANG LUHUR, KALAU PEMUDA INDONESIA SENDIRI SAJA TIDAK MAU MEMANTASKAN DIRINYA, LANTAS KEPADA SIAPA LAGI NEGARA KITA MENOPANGKAN HARAPANNYA, YANG JELAS TIDAK MUNGKIN LAGI KEPADA PARA PAHLAWAN YANG TERLAMPAU LELAH MENEBUS KEMERDEKAAN RI.


HIDUP PEMUDA INDONESIA!!!

Salam dari anak pelosok negeri sebelah Kalimantan Barat. :D
Read More >>

Sunday, March 1, 2015

Pemuda Dalam Perspektif


Sumber : Google.com

Kebanyakan pasti setuju bahwa anak muda itu identik dengan hal – hal yang berbau semangat perubahan, ya sesuatu tentang cerminan jiwa muda, semisal : inovasi, kreatifitas, dan optimisme. Peranan pemuda yang lebih dominan sebagai penggerak perubahan tidak dapat terelakkan dan begitu banyak perihal itu telah terbukti secara teoritis maupun praktis di sekitar kita. Hal ini ternyata sejalan dengan apa yang diperbuat pemuda – pemuda dalam garis sejarah indonesia. Organisasi kepemudaan Budi Utomo misalnya, organisasi sosial, ekonomi, kebudayaan dan politik . Budi Utomo sebuah organisasi pemuda yang didirikan oleh Dr. Sutomo dan para mahasiswa STOVIA pada tanggal 20 Mei 1908 berikutnya Tri Koro Dharmo, Jong Sumatra Bond, Jong Indonesia, dan organisasi juga Indonesia Muda yang lahir karena dorongan Sumpah Pemuda. Sudah sedemikian banyak organisasi kepemudaan yang tercatat dalam sejarah Indonesia, ini membuktikan bahwa para pemuda adalah motor penggerak perubahan (progres) Indonesia ke arah yang lebih baik.

Begitu pun pada hari ini, para pemuda seharusnya masih menjadi motor penggerak perubahan di tengah masyarakat. Dari pemuda yang notabene  memiliki antusiasme yang tinggi, bersemangat, serta terbuka pada hal baru itu kemudian ide – ide pembaharuan dilahirkan. Pemuda dari dulu hingga sekarang identik dengan hal berbau inovasi, kreatifitas yang pada gilirannya akan mendorong perubahan satu tingkat lebih maju. Berikut adalah uraian teoritis yang seharusnya melanda pemuda di Indonesia. Kreatifitas, inovasi serta semangat perubahan juga harapan akan sebuah keadaan masyarakat yang lebih baik menjadi representasi semangat muda dalam diri seorang pemuda di Indonesia. Begitu lah teorinya berbunyi, tetapi sekali lagi teori jika di lihat dari satu sisi tetap lah teori.

Nah sekarang mari lah kita lihat kondisi sebenarnya yang melanda para pemuda di Negara kita tercinta ini. Belakangan media sosial bisa di bilang sangaat akrab dengan sebagaian besar kaum muda di Indonesia, bukan terlampau hal yang tidak wajar mengingat fungsinya sebagai sarana komunikasi jarak jauh yang efektif dan efesien selama ada jaringan internet. Tetapi saking dekatnya, terlampau sering memainkannya sampai tiap jam juga tidak terlalu baik, padahal di interner terdapat banyak sekali konten berkualitas yang bisa menambah wawasan. Di perparah lagi sosmed sampai jadi tempat pencurahan perasaan dan sebagainya tetapi sejauh tidak berlebihan sosmed juga berdampak positif. Pengguna aktif sosial media yang notabene usia muda serta melebarnya fungsi sosmed selain sebagai media komunikasi telah berdampak ke mubazirnya sebagian besar waktu kaum muda, sementara itu menurut hemat saya, seorang anak muda harus menjaga efektifitas waktunya untuk hal yang berguna bagi dirinya sendiri. Hiburan memang perlu, tetapi jika berlebihan hanya akan membawa generasi muda Indonesia menjadi generasi muda yang tidak produktif. Dan puncaknya, besarnya jumlah pemuda yang tidak produktif pada gilirannya akan membuat harapan akan “bonus” demografi berubah berubah menjadi “bencana” demografi karena besarnya angka kaum muda yang tidak produktif. Tentu saja menjadi bagian dari bencana demografi saja sudah bisa membuat negara kita tercinta ini mengalami perlambatan yang signifikan dalam proses kemajuannya. Saya sering membayangkan jika anak muda indonesia akrab dengan buku, dan sekolah – sekolah itu setiap harinya penuh dengan diskusi begitu pun coffee shop. Rental game sepi juga tempat hiburan sepi pada hari wisata tetapi hanya ramai waktu weekend atau liburan tiba, banyak kaum muda yang berpikir maju menciptakan komunitas positif yang tidak hanya berkumpul tetapi juga bermanfaat banyak bagi masyarakat, Perpustakaan serta tempat-tempat ibadah dipenuhi anak muda setiap waktunya. Wah, tidak dapat saya bayangkan kalau sebagian besar anak muda indonesia sudah mampu berpikir maju serta dekat dengan kemajuan ilmiah serta rasa persatuan yang tinggi maka besar harapan saya bahwa kemajuan Indonesia sudah di depan mata.

Masih belum selesai dengan masalah yang kita hadapi sebagai kaum muda selain perilaku yang mencerminkan sikap hedonis, perilaku konsumtif, narkoba, dan perilaku cinta-cintaan dan masih banyak lagi masalah kaum muda, secara pribadi kita juga bingung pasti jika di hadapkan dengan pertanyaan “siapa yang sebenarnya bertanggung jawab terhadap situasi kaum muda hari ini?”, atau pertanyaan “apa yang menyebabkan pergeseran nilai sampai seperti ini?”, tentu kita bingung menjawabnya. Apakah sosialisasi primer di keluarga kurang sempurna, atau kah kesalahan institusi pendidikan dasar, menengah juga atas yang hanya menekankan kemampuan menghafal bukan melahirkan para kaum muda yang pemikir, atau kah ini semua disebabkan konten media massa (televisi misalnya) yang hanya menyajikan fungsinya sebagai media entertainment yang lebih  banyak menyajikan konten tidak mendidik seperti sinetron, FTV, serta acara show yang jauh dari kata mendidik, atau kah pemerintah yang tidak serius dalam mengelola potensi muda Indonesia. Nah, tentu kita bingung siapa yang harus disalahkan dengan kondisi yang sedemikian kacau yang melanda kaum muda Indonesia. Sepengetahuan dangkal saya bahwa ini adalah permasalahan kita bersama, yang harus kita selesaikan secara holistis dan merupakan tanggung jawab kita bersama.


Sumber : Google.com


 
Entah apakah kita harus terkejut, atau sekedar pura – pura berpikir mengenai permasalahan yang kaum muda Indonesia hadapi ini, hal ini lebih di perburuk lagi apa bila kaum muda yang bermasalah ini ternyata lebih banyak yang tidak sadar bahwa sikap dan kebiasaanya ternyata menjadi bagian dari permasalahan muda Indonesia yang sangat krusial ini. Secara subjektif saya menilai masa muda harusnya menjadi masa yang produktif dan tidak pernah sia-sia. Tetapi bagaimana lagi, setelah sekarang kita dihadapkan dengan permasalahan besar yang luas, terstruktur dan mengakar ini. Tentu saja kita boleh bersikap pesimistis kalau bonus demografi akan berubah menjadi bencana demografi dan diam saja melihat masalah ini. Berbicara solusi saya juga terlampau pesimis andai ternyata  hanya saya sendiri yang menganggap ini sebagai sebuah masalah yang di hadapi pemuda pada hari ini.

Pemuda adalah insan yang identik dengan antusiasme, perubahan, aktif, positif dan produktif tetapi saya bilang sekali lagi ternyata hal ini adalah fiktif belaka kalau ternyata faktor-faktor pendukungnya tidak menjadi alasan bahwa anak muda harusnya memang demikian. Sekali lagi anak muda yang minim pengalaman ini butuh contoh dan teladan yang baik maka ia akan menjadi baik begitu aturan alam sebaliknya. Generasi muda adalah penopang peradaban dan budaya negara kita tercinta, kalau generasi mudanya sudah rusak/ dirusak maka saya sangat pesimis bahwa bonus demografi yang dicanangkan pemerintah akan  terwujud bahkan akan sebaliknya.

Dukung fungsi pemuda sebagai motor perubahan, maka kemajuan peradaban dan budaya negara kita tercinta ini bukan lagi sekedar angan tapi sudah di depan mata. Saya optimis masih banyak anak muda indonesia kalau Indonesia perlu dirinya.

Salam dari pemuda pelosok negeri sebelah Kal-bar. :D

Sumber : Google.com


Tulisan singkat kali ini akan saya tutup dengan beberapa qoutes tentang pemuda.

“Kalian pemuda, kalau kalian tidak punya keberanian, sama saja dengan ternak karena fungsi hidupnya hanya beternak diri”
- Pramoedya Ananta Toer

“Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri”
- Pramoedya Ananta Toer

“Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia” .
- Bung Karno

“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda”.
- Tan Malaka



Read More >>

Wednesday, January 7, 2015

REALISTIS !!!



Tentu saja kita harus realistis kawan, bicara tentang organisatoris berbicara tentang team work, cooperation, dan manajemen SDM. Melihat kenyataan bahwa organisasi kemahasiswaan tingkat kampus sudah kehilangan sinarnya, tantu kita sebagai seorang mahasiswa harus berduka cita, juga tidak lupa melakukan instropeksi diri. Mengingat fungsinya yang sangat baik terutama sebagai “kolam terukur untuk belajar berenang sebelum terjun bebas ke lautan luas”, organisasi harus tetap eksis di dunia kampus. Betapa tidak organisasi kampus adalah salah satu sumber pembentuk pemimpin Indonesia kedepannya. Dengan  kondisi yang kian miris seperti ini organisasi ibaratkan seperti orang yang sakit, secara wujud masih hidup tetapi tidak produktif, tidak dapat berpikir, tidak mampu berbuat apapun bagi lingkungannya. Padahan mahasiswa harus sadar betul dirinya bukan lagi seorang bocah di bawah umur yang hanya bisa merengek minta susu. Seorang mahasiswa paling diidentikan dengan seorang pembelajar, intelektual, pemikir, insan akademis, mempunyai rasa keingintahuan yang tinggi dan bukan seorang pemalas yang kerjaannya hanya tidur seharian di kos, dan kalau saya tidak salah faham perpustakaan seharusnya adalah rumah kedua mahasiswa setelah kos. Dan beruntungnya pemuda sangat diidentikan dengan seorang yang produktif, penggerak perubahan, juga berpengaruh bagi lingkungan sekitar.

Maafkan lah jika saya salah tafsir dengan mengatakan bahwa organisasi mahasiswa tingkat kampus pada hari ini sakit. Tentu saja tidak semua, karena pandangan subjektif ini adalah hasil observasi lingkungan dan pandangan sekilas setiap hari. Maka saya berani mengatakan bahwa pada hari ini organisasi mahasiswa yang katanya memiliki peluang terbesar bagi kemajuan bangsa itu telah gagal melakukan tugasnya. Saat ini fungsi organisasi kampus tak ubahnya sebagai event organizer, tentu bukan hal yang terlampau negatif bila ia lupa akan fungsinya sebagai tempat belajar dan bukankah makna belajar lebih luas dari sekedar buku – buku usang di perpustakaan. Tentu bukan hal yang negatif pula ketika kita berkeinginan untuk mengangkat nama organisasi kampus juga nama fakultas serta universitas, mengingat aktifitas organisasi mahasiswa dapat menambah penilaian terhadap akreditasi dewasa ini.

Saya harus mengatakan bahwa salah satu pensuplai calon pemimpin indonesia kedepan adalah organisasi kampus, bukankah mereka dikader lewat organisasi – organisasi kelingking ini. Melihat kondisi ini bukannya memaksa kita untuk terlampau pesimis hanya saja yang menjadi sebuah ketakutan adalah hilangnya fungsi ini, dan menempatkan institusi akademi yang bernuansa kemiliteran sebagau satu – satunya pensuplai sosok leader di negara kita.

Entah lah tidak boleh terlampau lancang juga ketika kita harus menyalahkan bahwa SDM di era modern ini terlampau terkontaminasi pengaruh globalisasi sehingga mereka cenderung lebih bersikap hedonis, dan apatis. Dan bukan hal yang terlampau buruk juga ketika kita menyalahkan budaya berorganisasi yang sudah terbentuk bertahun – tahun untuk menjadikan alasan bahwa kita harus lari dari tanggung jawab moral terhadap masyarakat. Jika kita bandingkan kondisi mahasiswa Indonesia sebagai mahasiswa global dengan mahasiswa di negara lain tentu tidak daat kita samakan begiru saja mengingat kondisi latar belakang budaya serta orientasi pendidikan yang berbeda pula. Tetapi bukan hal yang harus dipermasalahakan juga ketika kita melakukan perbandingan dengan mahasiswa luar yang katanya memiliki “Otak yang lebih pekat warnanya”, terlebih hanya sebagai instropeksi diri saja. Mahasiswa tentu tidak boleh alergi terhadap buku, saya harus katakan lagi bahwa mahasiswa sejatinya adalah seorang pembelajar. Mulai dari masalah SDM ataupun budaya organisasi mana yang salah, bukan lah perkara yang harus kita cari terlebih kita tidak punya standar nasional karakter kader organisasi kemahasiswaan juga budaya organisasi. Tetapi tidak dapatkah kita sebagai kaum muda yang intelektualistis selama 8 semester (bukan sejenak) saja memikirkan keberlangsungan dari organisasi mahasiswa tingkat kampus, baru kemudian mahasiswa luar kampus yang skalanya lebih luas.

Kembali lagi keperkara organisasi tingkat kampus, bukan kah hal yang wajar bila kita dapat membedakan mana yang bermanfaat mana yang tidak bermanfaat. Bukankah mahasiswa itu seorang intelektualistis. Ingin mengatakan bahwa tujuan tertinggi dari organisasi kemahasiswaan adalah “Pengabdian Kepada Masyarakat”, hal ini sejalan dengan Tri dharma Perguruan Tinggi. Jika orientasinya adalah PKM maka secara langsung eksistensi kampus akan menjadi bonus yang besar bagi organisasi tersebut. Karena boleh saja jika kita ibaratkan sebagai tangga, jika berfokuspada tujuan yang tinggi maka anak tangga dibawahnya akan menjadi bonus. Jika artikel opini ini terlampau tersirat, maka maafkan lah saya. Semoga kemampuan berpikir yang lebih visioner dengan pendekatan harapan/cita – cita di hidayahkan Tuhan kepada kita semua para pembaca.


Salam dari Pemuda di pelosok Indonesia kepada dunia.   
Read More >>