Tentu saja kita harus realistis kawan, bicara tentang
organisatoris berbicara tentang team work, cooperation, dan manajemen SDM. Melihat
kenyataan bahwa organisasi kemahasiswaan tingkat kampus sudah kehilangan
sinarnya, tantu kita sebagai seorang mahasiswa harus berduka cita, juga tidak
lupa melakukan instropeksi diri. Mengingat fungsinya yang sangat baik terutama
sebagai “kolam terukur untuk belajar berenang sebelum terjun bebas ke lautan
luas”, organisasi harus tetap eksis di dunia kampus. Betapa tidak organisasi
kampus adalah salah satu sumber pembentuk pemimpin Indonesia kedepannya. Dengan
kondisi yang kian miris seperti ini
organisasi ibaratkan seperti orang yang sakit, secara wujud masih hidup tetapi
tidak produktif, tidak dapat berpikir, tidak mampu berbuat apapun bagi
lingkungannya. Padahan mahasiswa harus sadar betul dirinya bukan lagi seorang
bocah di bawah umur yang hanya bisa merengek minta susu. Seorang mahasiswa
paling diidentikan dengan seorang pembelajar, intelektual, pemikir, insan
akademis, mempunyai rasa keingintahuan yang tinggi dan bukan seorang pemalas
yang kerjaannya hanya tidur seharian di kos, dan kalau saya tidak salah faham
perpustakaan seharusnya adalah rumah kedua mahasiswa setelah kos. Dan beruntungnya
pemuda sangat diidentikan dengan seorang yang produktif, penggerak perubahan,
juga berpengaruh bagi lingkungan sekitar.
Maafkan lah jika saya salah tafsir dengan mengatakan bahwa
organisasi mahasiswa tingkat kampus pada hari ini sakit. Tentu saja tidak semua,
karena pandangan subjektif ini adalah hasil observasi lingkungan dan pandangan
sekilas setiap hari. Maka saya berani mengatakan bahwa pada hari ini organisasi
mahasiswa yang katanya memiliki peluang terbesar bagi kemajuan bangsa itu telah
gagal melakukan tugasnya. Saat ini fungsi organisasi kampus tak ubahnya sebagai
event organizer, tentu bukan hal yang terlampau negatif bila ia lupa akan
fungsinya sebagai tempat belajar dan bukankah makna belajar lebih luas dari
sekedar buku – buku usang di perpustakaan. Tentu bukan hal yang negatif pula
ketika kita berkeinginan untuk mengangkat nama organisasi kampus juga nama
fakultas serta universitas, mengingat aktifitas organisasi mahasiswa dapat
menambah penilaian terhadap akreditasi dewasa ini.
Saya harus mengatakan bahwa salah satu pensuplai calon
pemimpin indonesia kedepan adalah organisasi kampus, bukankah mereka dikader
lewat organisasi – organisasi kelingking ini. Melihat kondisi ini bukannya
memaksa kita untuk terlampau pesimis hanya saja yang menjadi sebuah ketakutan
adalah hilangnya fungsi ini, dan menempatkan institusi akademi yang bernuansa
kemiliteran sebagau satu – satunya pensuplai sosok leader di negara kita.
Entah lah tidak boleh terlampau lancang juga ketika kita
harus menyalahkan bahwa SDM di era modern ini terlampau terkontaminasi pengaruh
globalisasi sehingga mereka cenderung lebih bersikap hedonis, dan apatis. Dan bukan
hal yang terlampau buruk juga ketika kita menyalahkan budaya berorganisasi yang
sudah terbentuk bertahun – tahun untuk menjadikan alasan bahwa kita harus lari
dari tanggung jawab moral terhadap masyarakat. Jika kita bandingkan kondisi
mahasiswa Indonesia sebagai mahasiswa global dengan mahasiswa di negara lain
tentu tidak daat kita samakan begiru saja mengingat kondisi latar belakang
budaya serta orientasi pendidikan yang berbeda pula. Tetapi bukan hal yang
harus dipermasalahakan juga ketika kita melakukan perbandingan dengan mahasiswa
luar yang katanya memiliki “Otak yang lebih pekat warnanya”, terlebih hanya
sebagai instropeksi diri saja. Mahasiswa tentu tidak boleh alergi terhadap
buku, saya harus katakan lagi bahwa mahasiswa sejatinya adalah seorang
pembelajar. Mulai dari masalah SDM ataupun budaya organisasi mana yang salah,
bukan lah perkara yang harus kita cari terlebih kita tidak punya standar
nasional karakter kader organisasi kemahasiswaan juga budaya organisasi. Tetapi
tidak dapatkah kita sebagai kaum muda yang intelektualistis selama 8 semester (bukan sejenak) saja memikirkan
keberlangsungan dari organisasi mahasiswa tingkat kampus, baru kemudian
mahasiswa luar kampus yang skalanya lebih luas.
Kembali lagi keperkara organisasi tingkat kampus, bukan kah
hal yang wajar bila kita dapat membedakan mana yang bermanfaat mana yang tidak
bermanfaat. Bukankah mahasiswa itu seorang intelektualistis. Ingin mengatakan
bahwa tujuan tertinggi dari organisasi kemahasiswaan adalah “Pengabdian Kepada
Masyarakat”, hal ini sejalan dengan Tri dharma Perguruan Tinggi. Jika orientasinya
adalah PKM maka secara langsung eksistensi kampus akan menjadi bonus yang besar
bagi organisasi tersebut. Karena boleh saja jika kita ibaratkan sebagai tangga,
jika berfokuspada tujuan yang tinggi maka anak tangga dibawahnya akan menjadi
bonus. Jika artikel opini ini terlampau tersirat, maka maafkan lah saya. Semoga
kemampuan berpikir yang lebih visioner dengan pendekatan harapan/cita – cita di
hidayahkan Tuhan kepada kita semua para pembaca.
Salam dari Pemuda di pelosok Indonesia kepada dunia.